Diet Plastik sebagai Adaptasi Kebiasaan Baru
(foto: Unsplash/John Cameron)
Pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Setidaknya sampai vaksin wabah ini ditemukan dan sukses diujicobakan. Sementara itu, kita tetap harus "berdamai" dengan menerapkan pola Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di kehidupan kita. Mencuci tangan pakai sabun, menggunakan masker, dan menerapkan jaga jarak menjadi aktivitas harian yang wajib dilaksanakan.
Pelaksanaan AKB di kehidupan sehari-hari bukan tanpa masalah, terutama pada persoalan sampah. Potensi sampah plastik di tengah pandemi Covid 19 meningkat. Atas nama higienitas, penggunaan barang sekali pakai seperti masker, tisue, sarung tangan meningkat, apalagi dengan peningkatan dan berubahnya perilaku konsumsi masyarakat yang berpidah dari luring ke daring.
hasil penelitian Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) pada bulan Mei 2020 pada warga Jabodetabek di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menunjukkan bahwa persentase belanja online meningkat sebanyak 62%. dari yang biasanya hanya 1 hingga 5 kali sebulan, kini meningkat menjadi 10 kali dalam sebulan.
Peningkatan ini diikuti dengan peningkatan jasa pengantaran makanan lewat transportasi online yang sebagian besar paketnya menggunakan bahan styrofoam dan dibungkus plastik atau bubble wrap. belum lagi tambahan potensi sampah dari gelas plastik dan sedotan yang sulit diurai dan dikendalikan.
Dengan mulai berakhirnya penerapan PSBB di beberapa wilayah, sejatinya diharapkan diikuti dengan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai namun nampaknya harapan itu jauh panggang dari api.
Beberapa aturan baru berkaitan dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) membuat potensi sampah plastik sekali makan tetap tinggi. semisal contoh, pada aktivitas di rumah makan/restoran yang msih memprioritaskan pada pelayanan Take Away ketimbang makan ditempat, beberapa gerai makanan juga lebih menggunakan peralatan sekali pakai bagi pelanggan atas dasar higienitas.
Pada kegiatan seperti hajatan pernikahan atau rapat, potensi sampah diprediksi juga akan meningkat tajam. aturan seperti pelarangan penyediaan makanan secara prasmanan akan membuat makin meningkatnya penggunaan produk plastik sekali pakai.
Bisa dibayangkan bila dalam sebuah event yang mengundang sekira 1000 orang dalam satu hari, akan berapa banyak timbulan sampah plastik yang bisa dihasilkan.
Sebelum pandemi, upaya pengurangan penggunaan produk plastik sekali pakai gencar dilakukan. Apalagi dengan viral dan masifnya kasus global pencemaran laut akibat sampah plastik.
Beberapa kebijakan pemerintah dijalankan untuk mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Salah satunya dengan membuat Pelarangan penggunaan kantong plastik pada pasar tradisional dan pusat perbelanjaan seperti yang dilakukan Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, Bali, dan baru-baru ini di DKI Jakarta.
Kebijakan ini diharapkan bisa mengurangi pencemaran lingkungan yang dihasilkan oleh sampah plastik. namun, adanya wabah Covid-19 membawa tekanan tersendiri terhadap timbulan sampah yang meningkat, apalagi dengan dibenturkan dengan alasan penjagaan kebersihan dan kesehatan.
Lalu, apa yang harus dilakukan? salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurai krisis plastik yaitu dengan menerapkan gaya hidup "diet plastik" sebagai bagian dari upaya Hidup Minim sampah (Zero Waste). Apa itu?
Dikutip dari laman zerowaste.id, Zero waste adalah filosofi yang dijadikan sebagai gaya hidup demi mendorong siklus hidup sumber daya sehingga produk-produk bisa digunakan kembali. Zero waste juga soal menjauhi single use plastic atau plastik yang hanya digunakan sekali. Tujuannya adalah agar sampah tidak dikirim ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah.
Penerapan zero waste sebenarnya amat sederhana, dimulai dari 3 prinsip dasar, yaitu: mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), Mendaur ulang (recycle). yang perlu diperhatikan, prinsip mengurangi (reduce) menjadi prinsip yang paling penting dan utama ketimbang prinsip lainnya. mengapa demikian?
Di prinsip ini, potensi sampah bisa ditekan sedari awal. dalam aktivitasnya, kita dapat bertanya dulu, apakah sebuah produk, perlu dibeli atau tidak. dengan melihat urgensitas, kita bisa meminimalisir potensi sampah.
Pada prinsip kedua, yaitu menggunakan kembali (reuse) diarahkan pada penggunaan produk yang dapat digunakan berulang kali, seperti kantong kain menggantikan kantong plastik, penggunaan wadah makanan, sendok dan garpu sendiri. Dan prinsip ketida, yaitu mendaur ulang (recycle) menjadi prinsip terakhir saat kedua prinsip sebelumnya telah dilakukan.
Di tengah persoalan yang mendera, Pandemi Covid-19 sebenarnya bisa menjadi momentum pelaksanaan gaya hidup "Diet Plastik". Wacana Atas nama higienitas yang sebelumnya diasosiasikan dengan penggunaan produk sekali pakai harus diubah. Higienitas penggunaan produk sekali pakai dapat digantikan dengan membawa produk kemasan sendiri seperti wadah makan sendiri termasuk di dalamnya sendok dan garpu yang dapat digunakan berulang.
Gaya hidup "Diet Plastik" seyogyanya menjadi bagian dari Adaptasi Kebiasaan Baru sebagaimana kita mulai membiasakan menggunakan masker, cuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak. Sulit? Semoga saja tidak.
(sumber: website kompasiana.com "diet plastik sebagai adaptasi kebiasaan baru")