Investasi Berbasis ESG (Environmental, Social & Governance)
“We have forgotten how to be good guests, how to walk lightly on the earth as its other creatures do.” —Barbara Ward (1972)
Kalimat ini diucapkan oleh salah satu penulis buku Only One Earth: The Care and Maintenance of a Small Planet’ yang kemudian menjadi direktur pertama International Institute for Environment and Development, sebuah organisasi riset kebijakan dan aksi yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan menyambungkan prioritas lokal dengan tantangan global, yang menjadi cikal bakal ESG yang saat ini tengah marak.
Dalam laman http://governansi.org/, disebutkan bahwa ESG (atau kerap disebut Environmental, Social, and Corporate Governance /ESCG, Responsible Business Conduct /RBC, Co-Shared Value / CSV) merujuk pada tiga faktor sentral pengukuran dampak keberlanjutan dan etis dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi pada bisnis atau perusahaan tertentu yaitu Lingkungan, Sosial dan Governansi atau Tatakelola.
Investor umumnya menggunakan kriteria untuk ketiga faktor di atas dalam pertimbangan mereka untuk memilih investasi yang diambil
1. Kriteria Lingkungan: Investor mempertimbangkan bagaimana perusahaan berkinerja dengan cara ramah lingkungan, misalnya :
a. Penggunaan energi ramah lingkungan;
b. Pengelolaan limbah agar tidak menjadi polutan;
c. Partisipasi dalam konservasi sumber daya alam tak tergantikan;
d. Perlakuan wajar terhadap binatang yang tidak semena-mena; dan
e. Penerapan sistem manajemen risiko yang efektif dalam pengelolaan risiko lingkungan.
2. Kriteria Sosial: Investor mempertimbangkan bagaimana perusahaan mengelola hubungan kerja dengan para karyawan, pemasok, pelanggan, dan komunitas di mana mereka beroperasi, misalnya:
a. Pemilihan pemasok yang juga memiliki kebijakan dan praktik ESG;
b. Keterlibatan organisasi dalam pembangunan komunitas baik dalam bentuk persentase laba dan/atau kerja sukarela para karyawan bagi komunitas;
c. Pemastian lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi karyawan;
d. Pemastian untuk mempertimbangan masukan dan harapan pemangku kepentingan terhadap organisasi.
3. Kriteria Governansi atau Tatakelola: Investor mempertimbangkan bagaimana perusahaan membangun kepemimpinan yang mampu menjalankan prinsip tata kelola yang baik dan terlihat dalam struktur direksi dan dewan komisaris, sistem remunerasi direksi dan manajemen senior, sistem audit, pengendalian internal, dan perlindungan hak pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas, antara lain :
a. Penggunaan metode akuntansi yang sesuai dengan standar yang diharuskan;
b. Pemastian bahwa semua pemegang saham diberikan kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan suara untuk keputusan mengenai isu yang penting bagi organisasi;
c. Pemastian tidak adanya ‘konflik kepentingan’ dalam pemilihan anggota direksi dan dewan komisaris;
d. Pemastian tidak adanya kontribusi politik untuk memperoleh perlakuan istimewa dari penerima kontribusi;
e. Pemastian tidak terlibat dalam kegiatan ilegal.
Mengacu pada publikasi CFA Institute Research Foundation tahun 2020 berjudul “ESG and Responsible Institutional Investing Around the World : A Critical Review”, isu utama ESG adalah sebagai berikut :
Environmental, Social & Governance (ESG) dan Sustainable Development Growth (SDG)
ESG ini mengelaborasi tujuh belas tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Growth /SDG (https://www.un.org/) sebagai berikut :
- Aspek sosial mengelaborasi tujuan-tujuan ESG sebagai berikut :
i. Tujuan pertama : no poverty
ii. Tujuan kedua : zero hunger
iii. Tujuan ketiga : good health & well being
iv. Tujuan keempat : quality education
v. Tujuan kelima : gender equality
vi. Tujuan kedelapan : decent work & economic growth
vii. Tujuan kesepuluh : reduce inequality
viii. Tujuan kesebelas : sustainable cities & communities
ix. Tujuan ke tiga belas : climate action
- Aspek environmental mengelaborasi tujuan-tujuan ESG sebagai berikut :
i. Tujuan keenam : clean water & sanitation.
ii. Tujuan ketujuh : affordable & clean energy
iii. Tujuan kedua belas : responsible consumption & production.
iv. Tujuan keempat belas : life below water.
v. Tujuan kelima belas : life on land
- Aspek governance mengelaborasi tujuan-tujuan ESG sebagai berikut
i. Tujuan kesembilan : industry, innovation & infrastructure
ii. Tujuan keenam belas : peace, justice & strong institution.
iii. Tujuan ketujuh belas : partnership for the goals.
Implementasi ESG di Indonesia
Pemerintah IRI memiliki komitmen terhadap penerapan ESG. Setelah pembahasan yang cukup panjang, pada tahun 2004 Indonesia akhirnya resmi meratifikasi Protokol Kyoto yang memiliki concern kepada isu perubahan iklim. Pada tahun 2016 Indonesia juga menandatangani Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia juga telah melakukan beberapa reformasi kebijakan untuk menarik sektor swasta berinvestasi di sektor berkelanjutan. Salah satunya melalui penerbitan omnibus law UU Cipta Kerja, yang mereformasi beberapa undang-undang dan peraturan guna menarik lebih banyak investasi dari sektor swasta dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan sosial.
OJK juga memiliki komitmen terhadap penerapan ESG. Pada tanggal 5 Oktober lalu OJK melakukan kick off meeting Task Force Keuangan Berkelanjutan di Sektor Jasa Keuangan yang terdiri dari 47 lembaga jasa keuangan yang mewakili asosiasi di industri perbankan (13 bank umum nasional konvensional dan syariah); pasar modal (7 emiten, 5 perusahaan efek, dan 3 manajer investasi), IKNB (5 asuransi umum, 6 asuransi jiwa, 3 perusahaan pembiayaan, 2 dana pensiun, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, LPEI, dan PT SMF).
Inisiatif ini merupakan upaya mewujudkan pengembangan Ekosistem Keuangan Berkelanjutan, serta bentuk dukungan komitmen OJK pada upaya mitigasi serta adaptasi perubahan iklim (komitmen Paris Agreement) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
OJK juga sudah mengeluarkan berbagai kebijakan, arahan, maupun peraturan, seperti mengeluarkan road map untuk sustainable finance, di mana tahap I sudah dimulai sejak 2015 dan dilanjutkan dengan terbitnya road map tahap II, yang dimulai tahun 2021 sampai 2025. Fokusnya adalah menyelesaikan kendala-kendala yang dihadapi untuk mewujudkan keuangan berkelanjutan.
OJK berharap pada tahun 2025, seluruh pelaku industri keuangan secara bertahap akan wajib menyampaikan laporan keberlanjutannya. Ini mulai dari perbankan besar, kemudian perbankan menengah-kecil serta emiten besar, sedang, dan kecil. Sampai awal September 2021, terdapat sekitar 144 perusahaan listed yang sudah menyampaikan sustainability report. baik yang sudah wajib maupun yang voluntary.
Dampak Implementasi ESG
Green and sustainable menjadi satu elemen penting dari pemulihan ekonomi pascapandemi yang diinginkan oleh masyarakat global. Dalam konteks ini, transisi ekonomi rendah karbon telah mengemuka kembali dalam diskusi global governance terkini.
Namun untuk mencapai masa transisi ekonomi rendah karbon tersebut, tidak hanya pertumbuhan dan kesejahteraan yang berkelanjutan yang diperoleh, melainkan terdapat pula risiko bagi ketenagakerjaan maupun masyarakat yang perlu dimitigasi dengan baik.
UNFCC mencatat terdapat potensi sekitar 1,5 miliar pekerja akan terpengaruh oleh transisi ini secara global. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai forum mempromosikan jargon yang juga merepresentasikan kepentingan emerging market dan development ekonomi, dengan transisi yang tidak saja adil tetapi juga terjangkau sehingga diharapkan akan menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan, sekaligus meningkatkan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan, yang tentunya merupakan aspirasi dari seluruh masyarakat global.
Mengapa Investasi Berbasis ESG
Saat ini investor sudah tidak lagi beranggapan bahwa hal-hal yang tidak ramah terhadap ESG sebagai externalities di luar investment yang dapat dikompensasikan dengan Corporate Social Responsibility / CSR. Dengan kesadaran ini CSR lebih cenderung dianggap sebagai legitimasi sosial yang bersifat superfisial sehingga investor ingin menginvestasikan dananya kepada perusahaan yang secara internal mengakomodasi nilai-nilai ESG karena investasi tidak lagi dianggap bersifat bebas nilai.
Meningkatnya tuntutan dari para investor global ini tercermin dari bertambahnya anggota Principles for Responsible Investment (PRI), dengan dana kelolaan dunia US$ 100 triliun pada 2020 dari sebelumnya US$ 59 triliun tahun 2015. Jumlah pengelola dana yang bergabung pun semakin meningkat.
OJK juga memberikan insentif kepada corporate action perusahaan, antara lain untuk penerbitan green bond. September kemarin Pemerintah RI menerbitin global green bond sebesar 500 juta Euro. Dengan permintaan yang cukup tinggi dari investor, Pemerintah dapat menerbitkan SDG bond tanpa tambahan new issue concessions (NIC) yang biasanya diberikan sebagai insentif agar investor tertarik membeli bond baru yang merupakan tambahan pasokan di pasar.
Bursa Efek Indonesia juga menunjukkan komitmennya dengan penerbitan indeks-indeks bertemakan ESG. Jumlah dana kelolaan atau asset under management dari reksa dana dan ETF yang berbasis indeks green, terus menunjukkan peningkatan dan minat yang meningkat tajam dari waktu ke waktu.
Penerapan ESG diyakini dapat mendorong kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Sebanyak 88% perusahaan yang diteliti memperlihatkan korelasi yang positif akan kinerja operasionalnya pada saat mereka mempraktikkan ESG dengan baik. Sementara itu, sebanyak 80% perusahaan menunjukkan kinerja pergerakan harga saham yang juga lebih baik serta valuasi yang lebih baik.
Hal ini terlihat dalam data sebagai berikut, di mana indeks ESG memberikan return dan risk adjusted return (yaitu Sharpe ratio) yang lebih tinggi serta valuasi (dalam bentuk rasio price to earning, price to earning forward, maupun price to book value) yang lebih tinggi.
Gambar 1. MSCI Indonesia ESG Leaders Index (USD) MSCI Indonesia ESG Leaders Index (USD) | Sumber : msci.com
Gambar 2. Perbandingan kinerja IHSG,indeks LQ45 dan Indeks ESG Srikehati (sumber Bloomberg)
Strategi Investasi ESG
Mengacu pada publikasi CFA Institute Research Foundation tahun 2020 berjudul “ESG and Responsible Institutional Investing Around the World : A Critical Review”, terdapat beberapa strategi berinvestasi ESG sebagai berikut :
1. Screening : mengidentifikasi perusahaan yang akan menjadi pilihan investasi,
i. negative screening (mengacu pada daftar negative sektor, perusahaan atau praktik yang berdasarkan kriteria spesifik ESG untuk tidak dipilih),
ii. positive screening (mengacu pada daftar yang memiliki kinerja ESG lebih baik untuk dipilih), atau
iii. norm based screening (mengacu pada standar minimum dari praktik bisnis yang mengacu pada norma internasional)
2. Thematic : berinvestasi di aset yang ramah ESG, seperti clean energy, green technology, sustainable agriculture, atau social bonds yang dananya akan dialokasikan untuk project sosial.
3. Integration : Penerapan factor-faktor ESG secara inklusif dalam analisis finansial dan evaluasi investasi.
4. Engagement
i. Individual : tim investasi menggunakan posisi tawarnya sebagai pemegang saham untuk mempengaruhi perilaku perusahaan, baik melalui komunikasi dengan senior senior management dan direksi perusahaan dan menyampaikan proposal pemegang saham.
ii. Collaborative: berkolaborasi dengan investor lain dalam melakukan Tindakan di atas.
iii. Internal voting: penggunaan hak suara dengan mengacu pada guideline ESG guidelines secara internal (tidak diwakilkan kepada service provider eksternal.
Investasi ESG Bagi Investor Institusi
Dalam publikasi CFA Institute tahun 2010 berjudul “Elements of An Investment Policy Statement For Institutional Investors” (https://www.cfainstitute.org/-/media/documents/article/position-paper/investment-policy-statement-institutional-investors.ashx) diberikan referensi struktur praktik terbaik arahan investasi yang menjadi pedoman dalam menjalankan mandat investasi. Selain tata kelola dan manajemen risiko, bagian penting lain adalah bagian investasi, tujuan return dan risiko yang mencakup hal-hal sebagai berikut
- penetapan tujuan investasi secara keseluruhan,
- persyaratan risiko dan return yang mencerminkan optimalisasi investasi,
- toleransi terhadap risiko,
- constraint investasi yang dapat bersumber dari hukum, regulasi dan kebijakan internal,
- pertimbangan investasi lain yang terkait dengan strategi investasi, antara lain pendekatan filosofis terhadap investasi yang dapat mencakup berbagai dimensi seperti efisiensi pasar, tingkat oportunisme yang terantisipasi; kemauan untuk memasukkan faktor ESG dalam pengambilan keputusan, dan seterusnya.
Sebagai ilustrasi, pada tanggal 13 Oktober yang lalu Department of Labors US memberikan usulan aturan yang secara eksplisit memberikan ijin kepada pengelola dana retirement untuk mempertimbangkan faktor perubahan iklim dan ESG dalam pemilihan investasi dan menggunakan hak-haknya sebagai pemegang saham.
Sertifikasi ESG
Dengan luasnya isu serta masih beragamnya pemahaman tentang investasi ESG ini, pada Maret 2021 yang lalu CFA Institute, sebuah organisasi profesi investasi yang memiliki misi “to lead the investment profession globally by promoting the highest standards of ethics, education, and professional excellence for the ultimate benefit of society” mengumumkan inisiatif untuk menerbitkan standar di bidang investasi ESG, yang bertujuan untuk memperkuat integritas pasar dengan menyediakan benchmark pengetahuan dan skill yang diperlukan para professonal investasi untuk mengintegrasikan factor ESG dalam proses investasi. Penerbitan standar yang akan dilanjutkan dengan program sertifikasi ini direncanakan akan dilakukan pada tanggal 1 November 2021.
Program ini pada awalnya dikembangkan dan diaward oleh CFA Society UK dan telah diadopsi oleh CFA Institute serta dikembangkan oleh para praktisi terkemuka dan diakui oleh UN PRI (Principle for Responsible Investment), sebuah badan independent yang mendorong investor untuk menggunakan kegiatan investasi untuk mencapai return yang lebih tinggi sekaligus mengelola risiko bisnis dengan lebih baik.
Penutup
Isu ESG saat ini memang semakin marak. Dan semoga serta tampaknya tidak akan hanya tumbuh semusim sebagaimana cendawan di musim hujan. Karena tuntutan ini tidak hanya datang dari negara maju dan investor global, namun juga sangat dekat dengan kehidupan kita. Beberapa waktu yang lalu saya terkaget-kaget ketika anak perempuan saya yang berusia 13 tahun dan mulai rajin bercermin, minta dibelikan perawatan wajah merk A sambil menyebutkan tidak mau memakai merk B. Ketika saya tanya mengapa, jawabnya adalah karena merk B tidak animal-cruelty-free, tidak menggunakan konsep daur ulang, dan tidak bebas bahan kimia.
Ternyata generasi yang sering diremehkan sebagai generasi micin ini mulai memiliki kesadaran ESG secara inklusif. Hal ini semakin menyadarkan bahwa “kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tapi kita meminjamnya dari anak cucu kita.”
Siti Rakhmawati
Direktur Investasi Dana Pensiun Telkom
*) Tulisan ini disiapkan untuk kegiatan advokasi CFA Society Indonesia dan kontribusi untuk majalah Asosiasi Dana Pensiun Indonesia